Kamis, 17 Oktober 2013

~ Emansipasi Atau Deislamisasi ~


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim..

Emansipasi sejatinya hanyalah salah satu jalan yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempreteli bahkan mengubur syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur`an dan hadits ditelikung, dipahami sepotong-sepotong, untuk kemudian ditafsirkan secara sembrono. Syariat bahkan dianggap sebagai ajaran lama yang perlu direkonstruksi atau dikontekstualisasikan. “Ahli” tafsir dan hadits yang menjadi rujukan, siapa lagi kalau bukan kalangan akademisi Barat.
Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap wanita. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum wanita. Kehidupan wanita seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian wanita pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman.
Di tengah kepungan kemelut, wanita pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan nasibnya. Maka, lamat-lamat teriakan itu terus bergulir. Menggelinding bak bola salju. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pun ikut berbicara. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah, ia menguak sejarah kelam kehidupan wanita di belahan Eropa, terkhusus Perancis. Dituturkan bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Mereka menyuarakan kesetaraan jender. Menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria. Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatari perlakuan sewenang-wenang berbagai pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi guna. Setelah aksi para wanita Perancis, 6 Oktober 1789, di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan. Menjamurnya berbagai organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi pun makin membahana.
Dari kacamata sejarah, gerakan emansipasi kelahirannya berawal dari akibat rasa ‘frustrasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan gereja oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Inilah yang dikenal dalam lintasan sejarah sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan). Masa itu merupakan masa ‘rame-rame’ menggoyang arogansi gereja.
Begitulah awal lahir gerakan emansipasi. Kini, emansipasi telah menjadi bara di mana-mana. Semangat untuk menyetarakan diri dengan kaum Adam sedemikian dahsyat. Hingga melupakan batas-batas kesejatian diri sebagai kaum Hawa. Seakan tak mau peduli, bahwa antara wanita dan pria memiliki beragam perbedaan. Entah perbedaan yang bersifat psikis (kejiwaan), emosional, atau yang berkenaan dengan struktur fisik. Lantaran arus deras gerakan emansipasi, hal-hal mendasar seperti di atas menjadi terabaikan. Maka, gerakan emansipasi yang telah digulirkan menjadi alat perusak masyarakat. Perjuangan untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, menjadi perjuangan untuk menggerus sistem sosial yang ada. Ironisnya, sebagian kaum muslimah terprovokasi gerakan ini. Tanpa memahami latar belakang sejarah gerakan emansipasi, mereka ikut-ikutan meneriakkan persamaan hak. Yang lebih tragis, mereka menuntut persamaan hak dalam setiap sisi aturan agama. Bahkan, untuk menjadi khatib Jum’at pun mereka tuntut. Mereka menggugat, bahwa khatib Jum’at bukan monopoli kaum pria semata. Sudah sejauh ini pemahaman emansipasi menggayut di benak sebagian kaum muslimah. Ke depan, bisa saja mereka menggugat agar kaum wanita tidak haid dan nifas.
Gerakan emansipasi wanita yang salah kaprah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang karut-marut inilah yang dicitakan Iblis la’natullah alaih. Dengan menyusupkan gagasan-gagasan destruktif (yang merusak), Iblis berupaya menarik kaum hawa ke dalam kubangan kehancuran. Para wanita yang telah rusak pemikiran, perilaku, akidah, akhlak dan paham agamanya inilah yang disukai Iblis.
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, yang kali pertama menyerukan nilai-nilai kebebasan wanita adalah Iblis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: ‘Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (Al-A’raf: 20-21)
Maka Iblis pun memalsukan hakikat senyatanya kepada Adam dan Hawa. Memakaikan sesuatu yang haq kepada sesuatu yang batil dan mengenakan kebatilan terhadap kebenaran. Lantas, apakah buah dari bisikan dan sumpahnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’.” (Al-A’raf: 22)
Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah anugerahkan kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa, dengan (keduanya) melakukan taubat nashuha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23)
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Selanjutnya, menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, seruan (untuk menghancurkan nilai wanita) diistilahkan dengan banyak nama. Seperti Tahrirul Mar`ah (Kebebasan Wanita), yaitu yang arahnya membebaskan dan mengeluarkan muslimah dari Islam. Atau dengan nama An-Nahdhah bil Mar`ah (Kebangkitan Wanita), yaitu mengarahkan sikap membebek terhadap para wanita kafir, Barat atau Eropa. Juga dengan istilah Tathwirul Mar`ah (Pemberdayaan/Pengentasan Kaum Wanita). Istilah-istilah ini sengaja disebar kaum kafir dan orang-orang yang menyimpang dari Islam dan (istilah ini) tidak terkait dengan Islam. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/21-22)
Yahudi, sebagai kaki tangan Iblis di muka bumi ini, mengungkapkan pula tekadnya untuk menghancurkan kaum wanita melalui slogan-slogan terkait emansipasi. Ini sebagaimana terungkap dalam Protokolat Para Hakim Zionis, bahwa sesungguhnya kalimat-kalimat yang bersifat meruntuhkan (menghancurkan), yang merupakan syi’ar-syi’ar kami adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. (idem, hal. 24)
Maka, gerakan emansipasi memancangkan jargon-jargon perjuangan dengan menggunakan kebebasan wanita dan persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dengan istilah lain, memperjuangkan penyetaraan jender.
Timbul pertanyaan, mengapa kaum wanita dijadikan bidikan Yahudi (bahkan Nasrani) untuk menghancurkan masyarakat Islam? Menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, salah seorang ulama terkemuka Yaman:
Pertama, kaum muslimah umumnya lebih minimal dalam urusan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan pria. Karena tingkat pemahaman agama yang minim tersebut sehingga mudah terprovokasi untuk menerima hal-hal yang merusak.
Kedua, Yahudi dan Nasrani memandang bahwa menghancurkan wanita merupakan dasar bagi kehancuran berbagai sisi lainnya. Sebagaimana pula bila adanya perbaikan terhadap kaum wanita, maka akan membawa dampak kebaikan bagi lainnya.
Ketiga, Yahudi dan Nasrani berpendapat, apabila tersingkap wajah kaum wanita, maka akan tersingkap pula aurat lainnya bila kaum wanita itu berbaur dengan kaum pria.
Keempat, mereka memandang bahwa muslimah lebih cenderung khianat dan bertindak merusak terhadap suami. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu (no. 3330 dan 3399) dan Muslim rahimahullahu (no. 1470) dari hadits Abu Hurairah z. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
وَلَولَا حَوَّاءُ لَـمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا
“Dan seandainya bukan (karena) Hawa, seorang istri tidak akan mengkhianati suaminya.”
Pengertian hadits ini bahwa Hawa menerima ajakan Iblis sebelum bapak kita, Adam ‘alaihissalam. Kemudian Adam pun terbujuk, terjatuhlah ia pada tindak maksiat. Ini karena adanya sikap khianat para wanita, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10) [Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/147-148]
Kalau manusia mau membuka mata, walau sejenak, akan didapati pelajaran yang demikian berharga. Akan nampak secara transparan, betapa mereka yang termakan dengan gagasan-gagasan emansipasi, justru mengalami keterpurukan. Berapa banyak rumah tangga tidak terbina secara harmonis lantaran salah satu (atau bahkan keduanya) pasangan suami istri terjerat zina di tempat kerja. Berapa banyak pula lapangan kerja yang diisi kaum wanita, padahal bila diisi kaum pria akan dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, berapa juta istri dan anak-anak bisa ternafkahi bila laki-laki mendapatkan pekerjaan. Inilah fenomena sosial yang tentu saja tidak bisa lepas dari dampak gerakan emansipasi. Masih banyak lagi ketimpangan sosial akibat gerakan emansipasi yang liar dan tak terkendali.
Kerusakan-kerusakan Emansipasi
Gerakan emansipasi yang membuncah di tengah masyarakat, bila ditelisik lebih jauh akan menimbulkan berbagai kerusakan yang tidak ringan. Bagi kalangan muslimah, gerakan ini bisa merusak keyakinan agama yang dipeluknya1. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam telah menyebutkan 66 dampak kerusakan yang diakibatkan paham ini. Dalam tulisan ini hanya akan disebutkan beberapa hal saja. Di antara kerusakan-kerusakan tersebut yaitu:
1. Sebuah bentuk perang terhadap Islam.
Seruan emansipasi menyimpan perseteruan terhadap Islam. Selain itu, melecehkan, mencerca, menumbuhkan kebencian dari berbagai sisi terhadap agama. Termuat dalam gerakan emansipasi: kerusakan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan politik. Secara akibat, gerakan ini memuat seruan terhadap muslim untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sunyi dari rasa takut dan pengagungan kepada-Nya. Menumbuhkan dalam hati sebongkah pelecehan dan olok-olok terhadap kebenaran agama. Menjadikan seseorang bersikap ragu, menentang dan lari dari agama. Dari sisi ibadah, nyata sekali bahwa gerakan ini mengerdilkan, meremehkan terhadap siapa pun yang menjaga berbagai bentuk peribadatan (yang selaras syariat).
2. Merupakan bentuk seruan yang menyeleweng dari Islam. Bagaimana tidak dikatakan semacam ini, sementara gerakan tersebut melakukan penolakan terhadap sesuatu yang bersifat keimanan pada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, hukum syariat terkait pada kekhususan wanita dan pria. Maka, gerakan ini telah secara nyata melakukan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Entah dalam bentuk tindakan langsung menolak hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, atau dalam bentuk melakukan berbagai penafsiran yang menyimpang sesuai dengan kepentingan dan selera gerakan emansipasi. Bisa diambil contoh adalah lontaran-lontaran pernyataan mereka, seperti Islam mendzalimi wanita, (atau di Indonesia mencuat istilah rekonstruksi pemahaman agama, yang intinya melakukan aksi penolakan terhadap syariat Islam, pen.). Islam membelenggu wanita dengan menyuruh mereka tinggal di rumah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
3. Menyerukan permisivisme (serba boleh) dan menghalalkan segalanya. Maka bila diperhatikan kata “gender” akan diketahui bahwa makna kata itu terkait wanita dan pria. Sesungguhnya ini bentuk keserbabolehan (permisif) secara mutlak dan bebas tanpa batasan-batasan yang selaras fitrah, agama atau akal sehat. Kebebasan tanpa batas. Inilah yang dikehendaki para pegiat hak-hak wanita dan emansipasi. Mereka yang menyuarakan emansipasi tidak akan mampu menaikkan seruan mereka dari cara hidup binatang ternak. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ اْلأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى
“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Bahkan emansipasi telah menurunkan derajat mereka ke tingkatan binatang ternak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
4. Merupakan kumpulan dari berbagai macam kekufuran, baik secara keyakinan, ucapan, atau perbuatan.
5. Merupakan wujud seruan kekufuran Yahudi dan Nasrani. Karena senyatanya, gerakan emansipasi yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan kaum wanita merupakan (program) dakwah Freemasonry Zionis Yahudi, yang bersenyawa dengan orang-orang Nasrani. Ketahuilah, bahwa para penyeru emansipasi (sadar atau tidak) merupakan orang yang taat kepada Yahudi dan Nasrani. Mulai dari bentuk organisasi, pernyataan, pendidikan (training), penyebaran, dan dakwahnya. Semuanya dilakukan sebagai upaya ke arah kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman.” (Ali ‘Imran: 100)
Program mereka bertujuan mengeluarkan muslimin dari agamanya. Ini berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109)
Firman-Nya:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup.” (Al-Baqarah: 217)
6. Meniadakan (menolak) penerapan hukum-hukum syariat.
7. Membiarkan dan membebaskan perzinaan.
8. Membolehkan nikah antara muslimah dengan orang kafir (tentunya dengan dalil kebebasan wanita, pen.).
9. Tukar menukar atau berganti-ganti pasangan hidup.
10. Terlepasnya hijab Islami (jilbab yang syar’i).
11. Tersebarnya kemaksiatan secara terbuka.
12. Tasyabbuh (penyerupaan) antara laki-laki dan wanita (baik dalam cara berpakaian, perilaku dan lain-lain, pen.).
Demikian beberapa kerusakan yang ditimbulkan akibat gaung emansipasi. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 2/475-511)
Tidak sepatutnya kaum muslimin mengambil sistem nilai di luar Islam menjadi acuannya. Begitu pula seorang muslimah tidak sepantasnya menceburkan diri menyuarakan nilai-nilai emansipasi. Bila Islam dipelajari secara benar, maka akan memberikan kecukupan dan keadilan. Sebaliknya, bila Islam ditinggalkan maka kehinaan akan meliputi kehidupan kaum muslimah, bahkan masyarakat yang lebih luas.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.” (Al-Mujadilah: 5)
Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t, yang dimaksud “menentang Allah dan Rasul-Nya” adalah menyelisihi serta bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Taisirul Karimirrahman, hal. 845)
Karenanya, sudah tiba masanya bagi kita untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
1 Deislamisasi, mencerabut nilai-nilai Islam dari kaum muslimah hingga ke akar-akarnya.

Wallahu Waliyyut Taufiq.

Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah..
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci..
Amin Ya Rabbal 'Alamin..

Wabillahi Taufik Wal Hidayah..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

~ Untukmu.. Wahai Kaum Hawa ~



Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim..



Pembaca, mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala memberikan keberkahan pada kita semua, adalah merupakan suatu ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala ketika Allah telah menetapkan bagi kaum hawa untuk mengalami apa yang dinamakan haid (menstruasi). Pasti setiap wanita akan mengalami masa haid sebagai salah satu tanda dari baligh baginya.
Maka pada pembahasan kali ini akan kami sajikan untuk anda beberapa hal yang berhubungan dengan haid dikarenakan begitu peliknya permasalahan ini. Demikian pula permasalahan haid sangat berhubungan erat dengan permasalahan ibadah lainnya, bahkan dalam permasalahan halal dan haramnya suatu ibadah tertentu.
Pengertian Haid
Haid ditinjau secara bahasa bermakna mengalir. Adapun jika ditinjau secara pengertian dalam syari’at islam bermakna darah yang mengalir yang merupakan tabiat dari seorang wanita yang keluar dari dasar rahim dan akan berulang pada periode (waktu) tertentu.
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama apakah ada batasan umur tertentu pada pemulaan haid dan batasan umur berhenti dari masa haid (menopause). Namun yang benar dalam masalah ini bahwa tidak ada batasan umur tertentu untuk seorang wanita mulai haid dan tidak mengalami haid lagi. Hal ini berdasarkan keumuman dalil pada surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
“Dan mereka bertanya padamu tentang haid, (maka) katakan bahwa dia (haid) merupakan suatu gangguan, maka jauhilah para wanita ketika mereka sedang haid.”
Demikian pula dalam permasalahan waktu berlangsungnya haid, maka tidak ada batasan tertentu. Hanya saja kebanyakan (mayoritas) para wanita mengalami masa haidnya selama 6 sampai 7 hari.
Ciri-ciri Darah Haid
1. Berwarna kehitam-hitaman dan mudah dikenali. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Adapun darah haid, maka berwarna hitam yang dikenal…”
2. Memiliki bau yang tidak sedap, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas dengan lafazh:
يُعْرِِِفُ namun dengan
3. Kekuning-kuningan dan keruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Malik ketika ibu dari Alqamah Bin Abi Alqamah berkata: “Para wanita diutus kepada ‘Aisyah Ummul Mu’minin dengan membawa sebuah dirojah (wadah kecil) yang di dalamnya terdapat kursuf (pembalut) yang terdapat warna kekuning-kuningan bekas darah haid, mereka bertanya tentang shalat, maka ‘Aisyah menjawab: “Janganlah kalian shalat sampai kalian melihat pembalut tadi berwarna putih yang diinginkan dengan itu telah suci dari haid.”
Namun cairan keruh dan kekuning-kuningan tidaklah menunjukkan seorang wanita haid kecuali pada hari-hari yang memang sedang haid. Adapun jika keluar selain pada hari-hari haid, maka tidak dianggap haid, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Atiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah ketika dia berkata:
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap warna kekuning-kuningan dan keruh sedikitpun setelah suci sebagai haid.”
Beberapa Keadaan Wanita Haid
1. Wanita yang mengetahui kebiasaan waktu-waktu datangnya haid. Wanita jenis ini menjalankan haidnya sesuai dengan bilangan hari yang biasa dialaminya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabiyyah Ummu Habibbah bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Berdiamlah sebagaimana kebiasaan haid menahanmu, kemudian mandi dan shalatlah.”
2. Wanita yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haidnya namun bisa membedakan darah yang keluar apakah darah haid atau bukan. Maka dia menjalankan haid ketika mengetahui bahwa yang keluar adalah darah haid. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Apabila darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal, jika demikian berhentilah shalat, namun jika selain itu berwudhulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.”
3. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haid yang dia ketahui dan tidak bisa membedakan antara darah haid atau bukan. Maka baginya untuk bersandar kepada kebiasaan waktu-waktu haid kebanyakan wanita pada umumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An Nasa’i dari shahabiyyah Hamnah Bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمِ اللَّهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي فَإِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكِ يُجْزِئُكِ وَكَذَلِكِ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ
“Sesungguhnya itu adalah dorongan dari syaithan, maka laksanakanlah haid selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila kamu telah suci, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Lakukanlah shalat dan puasa, sesungguhnya hal itu cukup bagimu. Dan demikian itulah hendaknya kamu kerjakan sebagaimana para wanita mengalami haid.”
Beberapa hukum yang berkaitan dengan permasalahan haid
1.   Bagi wanita haid baginya untuk tidak mengerjakan shalat dan juga tidak berpuasa, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubais:
“Jika haid menimpamu, maka tinggalkan (jangan kerjakan) shalat…”
Maka jika ada wanita yang sedang mengalami haid kemudian berpuasa atau mengerjakan shalat, maka tidak sah puasa atau shalatnya tersebut bahkan dia telah melakukan suatu kemaksiaatan kepada Allah dan rasulNya karena telah dilarang oleh syari’at.
2.   Jika wanita tersebut sudah selesai dari masa haidnya, maka dibebankan baginya untuk mengqada’ (mengganti) puasa dan tidak dibebankan baginya untuk mengqada’ shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim, dari Aisyah ketika ia berkata:
“Kami mengalami haid, maka kami diperintah untuk mengqada’ puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqada’ shalat.”
3.     Tidak boleh bagi seorang suami menggauli yang sedang haid, namun boleh untuk bersenang-senang dengannya selain senggama seperti mencium, mengusap dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al Imam At Tirmidzi dan lainnya dari Anas bin Malik ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali nikah (jima’).”
Dan dalam lafazh lain:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali jima’.”
Barang siapa yang menjima’-i wanita yang sedang haid, maka dia telah melakukan suatu dosa besar karena dia telah jatuh pada suatu hal yang telah diharamkan syari’at. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh At Al Imam At Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya: “Barang siapa yang mendatangi wanita haid (senggama) atau mendatangi wanita pada duburnya atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam .”
Adapun bagi orang yang menjima’-i wanita haid terjadi perbedaan pendapat apakah baginya kafarat atau tidak ada kafarat namun dia mendapatkan dosa. Namun yang benar dia mendapatkan kafarat dengan bersedekah satu atau setengah dinar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari sahabat Abdullah bin Abbas. Ia berkata: “Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , tentang seseorang yang mendatangi istrinya yang haid, beliau bersabda:
يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Baginya untuk bersedekah satu atau setengah dinar.”
Barangsiapa ingin mendapatkan kesempurnaan dari kaffarah-nya hendaknya dia bersedekah satu dinar. Namun bagi yang bersedekah setengah dinar, maka cukup untuk membayar kaffarah-nya tersebut. Beberapa ulama ada yang berpendapat ukuran satu dinar 4,25 gram emas. Namun tidak mengapa bagi seseorang untuk menilai kadar dinar sesuai dengan ukuran daerahnya masing-masing.
4. Dilarang bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya yang sedang haid. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ath Thalaq ayat ke-1 (artinya):
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka mendapati masa ‘iddahnya (yang wajar).”
Yakni ketika mereka suci dan belum digauli. Dan juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya yang sedang haid untuk rujuk, kemudian menceraikannya kembali ketika istrinya suci apabila dia kehendaki.
5.     Hukum menyentuh Al Qur’an bagi wanita haid. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hal ini. Namun pendapat yang benar insya Allah adalah tidak bolehnya wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan juga pendapat Asy Syaikh Shalih Al Fauzan, Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin serta ulama yang lainnya. Dalil dari pendapat ini:
1)         firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Waqi’ah ayat ke-79 (artinya):
“Tidaklah menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.”
2)         Hadits ‘Amr Bin Hazm yang diriwayatkan oleh Al Imam Malik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menyentuh Al Qur’an kecuali dia dalam keadaan suci.”
Dalam riwayat At Thabarani dan juga Ad Daruquthni, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah engkau menyentuh al qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Namun dibolehkan bagi wanita haid untuk melafazhkan atau membaca ayat-ayat Al Qur’an, wallahu a’lam.
6.   Bagi wanita haid dilarang untuk thawaf di Ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerjakan apa yang dikerjakan orang yang berhaji selain engkau thawaf di Bait (Ka’bah).”
7.   Dibolehkan bagi wanita haid masuk ke masjid apabila ada kepentingan yang mendesak tanpa ditinggal/di dalam masjid. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim ketika Aisyah berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan aku untuk mengambil khumrah (sejenis sajadah) di dalam masjid, kemudian aku berkata: “Aku sedang haid”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah khumrah tersebut karena haid itu tidak berada pada tanganmu.”
Kapan dibolehkan untuk mendatangi istri yang telah berhenti haid
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang prmasalahan ini. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya digauli ketika darah telah berhenti walaupun belum mandi besar serta beberapa rincian lainnya. Namun sebagian yang lain mensyaratkan bolehnya digauli ketika darah telah berhenti dan telah mandi besar. Maka yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat yang kedua. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ البقرة: ٢٢٢
“Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci.”
حَتَّى يَطْهُرْنَ
maksudnya adalah terhentinya darah dan telah mandi besar. Al Imam Mujahid berkata: “Ayat ini juga telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas semakna dengan tafsir Mujahid di atas.”
Di dalam Majmu’ Fatawa (21/624) disebutkan: “Adapun wanita yang haid apabila telah berhenti darahnya, maka tidak boleh suaminya untuk menggaulinya sampai wanita tersebut mandi besar apabila dia mampu mandi. Apabila tidak mampu mandi, maka bertayammum, sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama seperti Al Imam Malik, Al Imam Ahmad dan Al Imam Asy Syafi’i.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang haid. Mudah-mudahan dengan ini kita bisa menjalankan ibadah di atas bimbingan ilmu dan bukan di atas bimbingan hawa nafsu dan perasaan belaka.

Wallahu Waliyyut Taufiq.

Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah..
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci..
Amin Ya Rabbal 'Alamin..

Wabillahi Taufik Wal Hidayah..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

~ Muslihat Wanita ~



Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim..



Wanita, diakui atau tidak, sarat dengan muslihat. Meski kaum pria juga tidak lepas dari yang demikian, perilaku ini lebih lekat kepada kaum hawa. Suka melemparkan kesalahan kepada orang lain, pintar berdalih, dan susah diajak antre adalah contoh sederhana yang banyak kita jumpai.
Mengetahui dan memahami sifat pasangan hidup termasuk perkara yang sudah sepantasnya. Suami mengetahui dan memahami sifat istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri mengerti dan memahami sifat suaminya. Selain sifat dan tabiat yang bersifat individu, perlu pula masing-masing pihak mengetahui sifat atau tabiat umumnya seorang lelaki ataupun umumnya seorang wanita. Tujuannya tentu agar masing-masingnya dapat mengambil sikap yang tepat dan semestinya.

Seorang suami harus mengerti bahwa wanita umumnya memiliki muslihat. Walaupun laki-laki juga demikian namun wanitalah yang lebih dominan dalam hal ini. Yang dimaukan dengan muslihat di sini adalah si wanita menampakkan satu perkara namun sebenarnya ia menyembunyikan perkara lain yang justru diinginkannya. Terkadang ia melakukan suatu kesalahan namun ia melemparkannya kepada orang lain. Hal ini tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz seperti yang diceritakan dalam Al-Qur`anul Karim.

Kita baca bagaimana istri Al-Aziz berbuat kesalahan besar namun Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang menjadi “kambing hitam.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ. وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ. وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan wanita (istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan ia menutup pintu-pintu, seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (suami si wanita) telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud melakukan perbuatan itu dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud demikian dengan wanita itu andaikan ia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu. Wanita itu berkata, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu, kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih?’.” (Yusuf: 23-25)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang keadaan Yusuf dan istri Al-Aziz tatkala keduanya berlomba-lomba menuju pintu. Yusuf hendak lari menghindarkan diri dari si wanita sementara si wanita mengejar meminta Yusuf agar kembali ke ruangan itu. Maka si wanita berhasil menyusul Yusuf lalu menarik gamis Yusuf dari belakang hingga koyak besar. Yusuf terus lari meninggalkan si wanita sementara wanita tersebut menyusul di belakangnya. Keduanya pun mendapati suami si wanita di sisi pintu. Ketika itu keluarlah makar dan tipu daya si wanita, ia berkata kepada suaminya untuk menimpakan tuduhan dusta kepada Yusuf, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu’, yaitu berbuat fahisyah/zina, ‘kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih’, yaitu dipukul dengan pukulan keras yang menyakitkan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 4/266)

Demikianlah muslihat yang dilakukan istri Al-Aziz untuk menimpakan kesalahan kepada Yusuf ‘alaihissalam. 
Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya mengeluarkan sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَرَضِهِ: مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ. قَالَتْ عَائِشَةُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ للنَّاسِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ: قُوْلِي لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ لنَّاسِ. فَفَعَلَتْ حَفْصَةُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَهْ إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوْسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ. فَقَالَتْ حَفْصَةُ لِعَائِشَةَ: مَا كُنْتُ لِأُصِيْبَ مِنْكِ خَيْرًا.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat sakitnya, “Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya, perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Aku berkata kepada Hafshah, ‘Katakanlah kepada Rasulullah: ‘Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.’ Hafshah melakukan permintaan Aisyah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Diamlah, sungguh kalian ini adalah shawahib Yusuf. Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Hafshah berkata kepada Aisyah, “Tidaklah aku pernah mendapat kebaikan darimu1.” (HR. Al-Bukhari no. 679 dan Muslim no. 940)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menerangkan, “Shawahib adalah bentuk jamak dari shahibah (teman wanita). Yang dimaksudkan adalah mereka itu sama dengan shawahib Yusuf dalam menzahirkan perkara yang sebenarnya berbeda dengan apa yang di dalam batin. Kemudian yang menjadi sasaran pembicaraan Rasulullah dengan kata ‘Kalian ini (antunna)’ walaupun lafaznya jamak adalah satu orang saja yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana lafadz shawahib dengan bentuk jamak namun yang dimaukan hanya Zulaikha saja (istri Al-Aziz). Sisi persamaan antara keduanya2 adalah Zulaikha mengundang para wanita dan menampakkan pada mereka bahwa ia ingin memuliakan mereka dengan perjamuan, namun yang menjadi tujuannya lebih dari itu yakni agar mereka dapat menyaksikan ketampanan Yusuf sehingga mereka dapat memaklumi kenapa ia mencintai Yusuf3.

Sementara Aisyah radhiyallahu ‘anha menampakkan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia ingin ayahnya jangan dijadikan sebagai imam karena ayahnya tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada makmum disebabkan tangisnya. Namun sebenarnya maksud Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih dari perkara tersebut, yaitu agar orang-orang tidak menganggap sial terhadap ayahnya.” (Fathul Bari, 2/199)

Hal ini dinyatakan sendiri oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:

لَقَدْ رَاجَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ وَمَا حَمَلَنِي عَلىَ كَثْرَةِ مُرَاجَعَتِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ فِي قَلْبِي أَنْ يُحِبَّ النَّاسُ بَعْدَهُ رَجُلاً قَامَ مَقَامَهُ أَبَدًا، وَلاَ كُنْتُ أَرَى أَنَّهُ لَنْ يَقُوْمَ أَحَدٌ مَقَامَهُ إِلاَّ تَشَاءَمَ النَّاسُ بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ يَعْدِلَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَبِي بَكْر

“Sungguh aku menyanggah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah itu (dengan mengusulkan yang lain dari apa yang diinginkan beliau, pent.) dan tidak ada yang mendorongku untuk berulang kali menyanggah beliau, kecuali bahwa tidak terbetik di hatiku orang-orang akan mencintai seseorang setelah beliau yang berdiri pada tempat beliau selama-lamanya. Tidak pula aku memandang tidak akan ada seseorang yang berdiri pada tempat beliau, kecuali orang-orang akan menganggap sial/tidak baik dengan orang (yang menggantikan tempat beliau) itu.

Maka aku ingin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan hal itu dari Abu Bakr.” (HR. Al-Bukhari no. 4445 dan Muslim no. 938) 
Dalam riwayat Muslim (no. 939) disebutkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha:

وَاللهِ، مَا بِي إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ يَتَشَاءَمَ النَّاسُ بِأَوَّلِ مَنْ يَقُوْمُ فِي مَقَامِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Demi Allah, tidak ada alasan bagiku (untuk menyanggah keinginan Rasulullah agar ayahku, Abu Bakr, menggantikan posisi beliau sebagai imam, pent.) kecuali aku tidak suka manusia menganggap sial dengan orang yang pertama kali menempati tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam shalat sebagai imam, pen.).” 
Masih berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقَرْعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَطَارَتِ الْقُرْعَةُ لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بِاللَّيْلِ سَارَ مَعَ عَائِشَةَ يَتَحَدَّثُ، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: أَلاَ تَرْكَبِيْنَ اللَّيْلَةَ بَعِيْرِيْ وَأَرْكَبُ بَعِيْرَكِ تَنْظُرِيْنَ وَأَنْظُرُ؟ فَقَالَتْ: بَلى. فَرَكِبَتْ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَمَلِ عَائِشَةَ وَعَلَيْهَا حَفْصَةُ، فَسَلَّمَ عَلَيْهَا ثُمَّ سَارَ حَتَّى نَزَلُوْا وَافْتَقَدَتْهُ عَائِشَةُ، فَلَمَّا نَزَلُوا جَعَلَتْ رِجْلَيْهَا بَيْنَ الْإِذخِرِ وَتَقُوْلُ، رَبِّ سَلِّطْ عَلَيَّ عَقْرَبًا أَوْ حَيَّةً تَدْلُغُنِي وَلاَ أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقُوْلَ لَهُ شَيْئًا

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Dalam satu safar, undian jatuh pada Aisyah dan Hafshah. Bila tiba malam hari dalam safar tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan mengiringi unta Aisyah dan berbincang dengan Aisyah. Maka berkatalah Hafshah kepada Aisyah, “Tidakkah malam ini engkau ingin menunggangi untaku dan aku gantian menunggangi untamu, hingga engkau dan aku bisa melihat pemandangan yang lain.” Menanggapi tawaran tersebut, Aisyah berkata, “Tentu aku mau.” Aisyah pun menunggangi unta Hafshah. Pada malam hari, datanglah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke unta Aisyah sementara di atasnya (dalam sekedup) Hafshah. Nabi mengucapkan salam kepadanya, kemudian berjalan mengiringi unta Aisyah tersebut hingga rombongan singgah di suatu tempat.

Aisyah merasa kehilangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika mereka telah singgah di suatu tempat, Aisyah turun dari unta yang ditungganginya dan memasukkan kedua kakinya di antara semak-semak seraya berkata, “Wahai Rabbku, kuasakanlah seekor kalajengking atau ular agar menyengatku dan aku tidak kuasa mengatakan apa-apa kepada Nabi-Mu.” (HR. Al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 6248)

Hafshah radhiyallahu ‘anha memperdaya Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dapat jalan beriringan di malam hari bersama suami yang sama-sama mereka cintai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menyadari kekeliruannya mengiyakan usulan Hafshah, Aisyah menyesali dirinya sendiri. Karena kecemburuan yang sangat, ia melakukan apa yang dilakukannya dan mendoakan kematian untuk dirinya. (Fathul Bari 9/387, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 15/206).

Ada kalanya muslihat yang dilakukan wanita untuk perkara kebaikan sebagaimana kisah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 5657). Dalam hadits itu disebutkan setelah Asma` menceritakan khidmatnya kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu, Asma` radhiyallahu ‘anha berkata:

فَجَاءَنِي رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. قَالَتْ: إِنِّي إِنْ رَخَصْتُ لَكَ، أَبَى ذَاكَ الزُّبَيْرُ، فَتَعَالْ، فَاطْلُبْ إِلَيَّ وَالزُّبَيْرُ شَاهِدٌ. فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. فَقَالَتْ: مَا لَكَ بِالْمَدِيْنَةِ إِلاَّ دَارِي؟ فَقَالَ لَهَا الزُّبَيْرُ، مَا لَكِ أَنْ تَمْنَعِيْ رَجُلاً فَقِيْرًا يَبِيْعُ؟ فَكاَنَ يَبِيْعُ إِلَى أَنْ كَسَبَ، فَبِعْتُهُ الْجَارِيَةَ، فَدَخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ وَثَمَنُهَا فِي حَجْرِيْ فَقَالَ: هَبِيْهَا لِي. قَالَتْ: إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَا.

Maka datanglah kepadaku seorang lelaki yang fakir, ia berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma` menjawab, “Kalau aku memberi keringanan bagimu (mengizinkanmu), biasanya Zubair keberatan. Karenanya, marilah engkau minta kepadaku dalam keadaan Zubair menyaksikan.” Laki-laki itu pun datang seraya berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma menjawab, “Apakah tidak ada rumah lain bagimu di Madinah ini selain rumahku?” Zubair menegur istrinya, “Kenapa engkau melarang seorang yang fakir untuk berjualan?” Dengan izin tersebut, lelaki itu mulai berjualan hingga ia memperoleh penghasilan/keuntungan. Maka aku menjual seorang budak perempuan kepadanya. Masuklah Zubair dalam keadaan harga/uang penjualan budak tersebut masih berada dalam pangkuanku. Zubair berkata, “Hibahkanlah kepadaku.” Asma` berkata, “Aku sungguh telah menyedekahkannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1. Hafshah radhiyallahu ‘anha mengucapkan demikian karena ia mendapati pengingkaran  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia marah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha disebabkan Aisyah-lah yang menyuruhnya berkata demikian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mungkin pula Hafshah teringat dengan perkaranya bersama Aisyah juga dalam peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum madu yang dikatakan oleh Aisyah berbau maghafir. (Fathul Bari, 2/200)

2.  Hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mengatakan, “Sungguh kalian ini shawahib Yusuf.”

3 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan untuk kita dalam ayat-ayat-Nya:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ. قَالَتْ فَذَلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ
“Dan wanita-wanita di kota tersebut berkata, ‘Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya kepadanya. Sungguh cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sungguh kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’. Maka tatkala istri Al-Aziz mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan). (Ketika para wanita itu telah hadir dan menghadapi jamuan yang telah disiapkan), istri Al-Aziz berkata kepada Yusuf, ‘Keluarlah, nampakkan dirimu kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihat Yusuf, mereka terkagum-kagum dengan keelokan rupanya sehingga mereka tidak sadar telah melukai jari-jari tangan mereka (dengan pisau hidangan), dan mereka berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’ Istri Al-Aziz berkata, ‘Itulah dia orangnya yang kalian mencelaku karena tertarik kepadanya….’ (Yusuf: 30-32)




Wallahu Waliyyut Taufiq.

Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah..
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci..
Amin Ya Rabbal 'Alamin..

Wabillahi Taufik Wal Hidayah..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..