Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim..
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim..
“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman,
hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu
bagi dirinya sendiri.”
Secara nalar pecinta
dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita?
Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita
cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu
Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat
di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para
ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika
tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat
ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa
ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan
sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang
dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian,
karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian
sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi
dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai
jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut
berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak
mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang
selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala
memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan
persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya
ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin
jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya
seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah
dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar
haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan
imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas
dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia
merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang
mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia
mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya
laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu
anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan
tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya
saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi
“saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung
disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ).
Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai
“Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala). Berarti, kebaikan yang kita
berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum
muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan
hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah
susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku -semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa menetapkan hati
kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin
yang kuat lebih dicintai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi
sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh
Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan
Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya
sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat
Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati
kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang
berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan
syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka
meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka
kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang
yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Demikian
pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah,
perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengajarkan kepada kita keutamaan
orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar
(mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memuji
kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di
akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka
mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum
Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala memuji
orang-orang yang dipelihara Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari kekikiran dirinya sebagai
orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum
Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan
kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian
menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada
siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun
yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita
tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita
“utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi
taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan
yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke
masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di
shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat
kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.”
Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa
berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh:
148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam
urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri
mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna
syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu
billah. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti
itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa
kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang
juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan
kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian
aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling
mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang
bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain.
Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh
keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan
bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang
mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala
mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan
yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan
muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa
menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh
banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah
tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut
akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang
tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah
ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga
dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara
muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita
habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali
obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya
kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan
hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal.
Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya
shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi
imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih
sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu
maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan
untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.”
Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu
ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”,
ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara
sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis
‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut,
“Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat
kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya
tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk
mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya
ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa
berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang
aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah
mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja
makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang
teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu
aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu
diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak
tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa
perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara
lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran
dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab,
At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa
telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada
saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya
hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan
kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah
mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu
agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat
menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian
bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada
kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk
menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita
terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat
tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara
kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala
menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk
“ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia
akan mati! Semua makhluk Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan mati dan kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala !! Sedangkan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha
Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji
manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Subhanahu Wa Ta'ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah -semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa menjaga kita
diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala
akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang
hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah
orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan
menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali
naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya,
‘Orang-orang yang bercinta karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berada di atas mimbar-mimbar dari
cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku
keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya
hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman,
‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku
berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku
berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang
bercinta karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan
‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan
berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan
mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.”
(HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat
(artinya: “Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi
sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang
menyenangkan). Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu
sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran
Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah
dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju
Negeri Akhirat. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai
karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin,
dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Wallahu Waliyyut Taufiq.
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah..
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci..
Amin Ya Rabbal 'Alamin..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar